Jika sebagian orang sudah mengetahui
cita-citanya sejak awal dan berjalan lurus menuju cita-citanya, tidak demikian
dengan saya. Menjadi dosen adalah cita-cita saya, sejak semester 7. Saya tidak
istimewa dalam kuliah, kegiatan luar kuliah sayapun lebih banyak berkaitan
dengan naik gunung dan rapat organisasi. Tidak ada hal-hal berbau akademis sama
sekali. Saya baru menyadari betapa saya ingin menjadi dosen ketika saya mulai
mengerjakan skripsi. Saat itu entah mulai darimana saya menjadi tempat
konsultasi sobat skripsi dan tesis soal analisis data. Sejak saat itu saya
merasakan betapa menyengkan ketika bisa berbagi ilmu dan bermanfaat bagi orang
lain. Namun kenyataannya, setelah lulus kuliah jalan saya menjadi dosen juga
tidak lurus-lurus amat, harus muter kemana-mana dulu. Muter ke pedalaman Sulawesi
dulu selama setahun untuk jadi guru SD, dan muter ke Jakarta dulu selama
setengah tahun untuk jadi staf rekrutmen. Sampai akhirnya saya dapat beasiswa
dari LPDP untuk lanjut S2 dan mulai terbukalah jalan akademisi saya untuk jadi
dosen.
Sebelum menjadi dosen, saya banyak riset
soal kehidupan dosen dan proses seleksi mereka. Satu hal yang saya tangkap soal
kehidupan dosen adalah, bersiaplah dengan banyak kejutan dalam hidupmu dan
jangan berharap mendapat uang banyak saat kamu mulai berkarir. Kunci utama agar
diterima jadi dosen adalah, kalau kamu punya kemampuan unik yang tidak dimiliki
semua orang, punya relasi bagus, dan kamu pas beruntung. Ya tiga komponen itu
adalah kuncinya. Hidup di Indonesia ini tidak cukup kompeten saja. Saya punya
senior yang sangat kompeten, bahkan dosen-dosen banyak yang konsultasi pada
dia. Tapi kenyataannya, setelah lulus S2 dia menganggur lebih dari setahun. Ada
juga yang selama kuliah biasa-biasa saja, tapi begitu lulus langsung diterima
jadi dosen di kampus favorit.
Saya memulai petualangan mencari kerja sebagai dosen dengan mengikuti proses
seleksi di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Saat itu UMS adalah
pilihan utama saya, selain karena reputasinya yang cukup baik, kampus ini juga
terletak di kota Solo yang tidak terlalu jauh dari Jogja. Seingat saya
rekrutmen saat itu dibuka sepanjang tahun. Kita bisa apply di website
rekrutmen.ums.ac.id, bikin akun dan isi form online di website itu. Tak lama
setelah mengisi form online, saya mendapat panggilan untuk tes tahap
pertama, yakni TPA dan Bahasa Inggris di kampus pusat UMS. Kita bisa memilih sendiri jadwalnya. Tes dilaksanakan
secara privat dengan berbasis komputer. Soal-soal tes TPA tidak terlalu sulit, standar lah seperti TPA yang lain. Soal bahasa Inggrisnya juga relatih lebih mudah bagi
saya, terutama bagian listening bahasa Inggris yang lebih sederhana dibanding listening pada TOEFL. Selesai mengerjakan tes kita langsung tahu hasilnya. Saya lulus dan
boleh mengikuti tes tahap berikutnya. Bagi yang belum lolos, masih boleh
mengulang, namun dengan jarak waktu sebulan lagi.
Tahap berikutnya adalah tes Al-Islam dan
Ke-Muhammadiyahan (AIK). Jarak tes pertama dan kedua ini cukup lama, sekitar
dua minggu. Tes AIK juga dilaksanakan berbasis komputer di kampus pusat UMS. Soalnya
cukup sulit bagi saya, terutama yang bagian ke-Muhammadiyahan, karena dasarnya
saya tidak memiliki backgraound Muhammadiyah sama sekali. Banyak pertanyaan seputar arah gerakan Muhammadiyah, organisasi Muhammadiyah, dan dasar filosofinya. Tapi untungnya
Passing-gradenya cukup rendah, hanya betul setengah+1 dari jumlah seluruh soal,
dan saya lolos. Setelah tes AIK baru ada informasi resmi rekrutmen dosen dengan
proses yang sama seperti yang sudah saya jalani. Jadi sepertinya UMS ini
membuka tes sepanjang waktu dan menyimpan data kandidat yang memenuhi
kualifikasi, dan baru akan memanggil ke tahap berikutnya ketika sudah ada
formasi resmi. Jadi saya harus menggu lama saat itu, hampir dua bulan sampai
batas waktu rekrutmen resmi berakhir.
Setelah menunggu lama, saya akhirnya dapat
panggilan untuk tes tahap berikutnya, yaitu tes kompetensi pegadogik, tes
kompetensi ilmiah, wawancara pengembangan diri, dan wawancara AIK. Ada tujuh orang yang lolos dari Psikologi dan saya satu-satunya peserta laki-laki. Tes kompetensi pedagogik adalah simulasi mengajar dengan materi yang sudah ditentukan sebelumnya. Seluruh materi harus diintegrasikan dengan perspektif Islam dan Indigenous. Untuk tes kompetensi ilmiah kita diminta untuk membuat proposal penelitian dan dipresentasikan saat ujian. Wawancara pengembangan diri adalah wawanrana dengan pimpinan untuk melihat rencana pengembangan diri kita ke depan (terutama soal sekolah lanjut). Untuk wawancara AIK kita akan dites lagi soal keIslaman dan KeMuhammadiyahan kita, tapi secara lisan. Sayangnya saya
tidak bisa bercerita bagaimana prosesnya tes-tes tersebut secara nyata karena saya memutuskan
untuk mundur dari proses seleksi. Saya memutuskan untuk melanjutkan proses
seleksi di kampus lain.