Bundesliga,
liga utama sepak bola Jerman sudah dimulai kembali setelah lama libur karena
Covid-19. Namun ada hal yang berbeda dari biasanya, para pemain harus menjaga
jarak ketika merayakan gol. Sebuah selebrasi yang hampa. Selebrasi gol harusnya
menjadi klimaks luapan emosi atas beratnya perjuangan mencetak gol. Kondisi
yang sama berlaku untuk lebaran tahun ini, setelah berjuang selama sebulan
puasa, pada akhirnya kita harus menahan diri merayakan lebaran di rumah
masing-masing. Ini tentu bukanlah perayaan kemenangan yang ideal bagi sebagian
besar masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, tidak semua orang mampu menerima
kondisi ini. Mall tetap ramai sebelum lebaran, atau beberapa orang tetap berkunjung
ke rumah keluarga dan tetangga untuk merayakan lebaran. Tidak mudah memang
menghilangkan tradisi, apalagi kalau sangsinya adalah sangsi sosial.
Saya
jadi ingat, di mata kuliah Psikologi Eksperimen, saya mendapat tugas mereview
salah satu eksperimen klasik di Psikologi, yaitu eksperimen Marsmallow. Eksperimen
ini dilakukan oleh Walter Mischel. Dalam eksperimen ini, beberapa anak diuji
dengan marsmallow. Mereka dihadapkan sepiring marsmallow, namun mereka
dijanjikan akan diberikan marsmallow yang lebih banyak jika mereka berhasil
menahan diri untuk tidak memakan marsmallow yang ada di hadapannya. Mereka kemudian
ditinggal sendirian di dalam ruangan selama beberapa waktu. Beberapa anak ada
yang berhasil, beberapa anak gagal dan memilih untuk memakan marsmallow yang
ada di hadapannya. Beberapa tahun kemudian ketika anak-anak dalam eksperimen
tersebut sudah besar, ternyata anak-anak yang berhasil dalam tes marsmallow ini
memiliki prestasi akademik yang lebih baik dibanding mereka yang gagal.
Mischel
kemudian menyimpulkan bahwa kontrol diri (self-kontrol) merupakan variabel
utama yang mempengaruhi anak tersebut sukses atau gagal dalam tes. Kontrol diri
ini pula yang sangat menentukan kesuksesan individu dalam berbagai bidang. Dalam
Islam, kontrol diri ini yang sedang dimatangkan selama individu menjalani puasa
Ramadhan. Prinsipnya, mau ambil kesenangan itu sekarang tapi kecil, atau tunda
kesenangan sekarang tapi akan dapat kesenangan yang lebih besar di masa
mendatang. Dengan demikian, puasa esensinya merupakan latihan kontrol diri,
namun dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Mengapa demikian? Karena reward
yang diterima dari puasa itu abstrak, tidak seperti marsmallow tadi yang wujud
barangnya ada. Sementara bagi orang yang berpuasa, reward akan kontrol diri
yang dilakukan ini hanya berlaku bagi orang-orang yang percaya akan adanya surga.
Kontrol
diri dan menunda kesenangan diyakini sangat menentukan kesuksesan seseorang. Contoh
konkretnya, seorang anak yang memilih bersusah-susah belajar dibanding bermain
game agar nantinya lebih sukses secara akademik. Atau seorang ibu yang lebih
memilih menabung uangnya daripada membeli baju baru agar nantinya bisa digunakan
untuk modal usaha. Lalu apa kaitannya kontrol diri ini dengan kondisi saat ini?
Selama masa pandemic Covid-19 ini, beberapa negara sudah membuktikan bahwa kontrol
diri menentukan kesuksesan negara tersebut dalam menangani pandemik. China
misalnya, meskipun awalnya menjadi negara dengan kasus terbanyak, mereka
langsung melakukan lockdown dan memilih hidup menderita dan terasing
dari mana-mana. Namun pada akhirnya, mereka berhasil membuat jumlah kasus
berkurang derastis. Sementara contoh lainnya ditunjukkan oleh negara Amerika
Serikat. Sejak awal negara ini memilih untuk tidak mengorbankan ekonimi demi
penanganan Covid, sehingga mobilitas tetap berjalan biasa. Namun yang terjadi
adalah, negara ini menjadi negara dengan jumlah kasus Covid terbanyak.
Bagaimana
dengan Indonesia? Beberapa hari lalu, Presiden Jokowi sudah mewacanakan
penerapan kehidupan normal yang baru (new normal). Secara tersirat,
presiden sudah mengijinkan kehidupan kembali seperti sedia kala, bekerja seperti
semula, bekerja seperti semula, dan beribadah seperti semula, namun dengan protocol
kesehatan yang ketat. Apakah ini langkah yang tepat, mengingat kasus Covid di
Indonesia masing tinggi dan belum menunjukkan grafik penurunan? Kalau kita
melihat tren kasus terkini, sepertinya new normal ini memang sesuatu
yang prematur. Ibarat sedang puasa Ramadhan, kita sekarang mungkin baru sampai
pada hari ke-15, masih ada 15 hari lagi yang harus dijalani agar kita benar-benar
bisa merayakan kemenangan. Kalau kita berhenti puasa sekarang, tentu kita
senang karena tidak perlu menahan diri lagi, tapi selebrasi puncak itu juga
tidak akan pernah terjadi.
Kembali
lagi, kuncinya adalah kontrol diri dan percaya bahwa sesuatu yang lebih baik
itu akan datang. Pada akhirnya, kita tidak akan bisa sepenuhnya bergantung pada
pemerintah. Sekarang ini pemerintah yang butuh rakyat, bukan rakyat yang butuh
pemerintah. Pemerintah mempunyai kepentingan untuk menyeimbangkan aspek kesehatan
dan ekonomi, dan akhirnya pelonggaran dilakukan meskipun jumlah kasus masih
tinggi. Sekarang kuncinya adalah di tiap individu, kontrol diri adalah kunci. Berakit-rakit
ke hulu, berenang-renang ke tepian. Tidak mudah memang menahan diri untuk tidak
berkumpul dengan teman dan keluarga, berwisata saat sudah jenuh, mencari penghasilan
tambahan kemana-mana. Sangat sulit bahkan bagi sebagian orang yang hidupnya
bergantung dari sekedar Work From Home. Namun jika kita menahan diri dan
percaya semua pengorbanan ini tidak akan sia-sia, tentu kita juga bisa
berselebrasi secara klimaks, bukan hanya selebrasi semu, sementara kita masih
diliputi rasa takut dan cemas.