Menjadi Pemain Sepak Bola


Tulisan ini repost dari blog lama, bercerita tentang cita-cita saya menjadi pemain sepak bola. Sekarang, cita-cita saya adalah menemani anak laki-lakiku bermain sepak bola dengan gembira. Itulah salah satu alasan kenapa aku menamai anakku “Zidan”, pemain sepak bola muslim terkenal dari Prancis. Aku ingin dia tumbuh dengan bahagia, sama sepertiku dulu ketika bermain sepak bola.

Banggai, 12 September 2015
Jika kamu menanyakan cita-cita ke anak kuliahan, sebagian besar pasti akan ragu untuk menjawab, sebagian lagi akan menjawab berbagai macam pekerjaan yang “menjual” seperti dosen, pengusaha, dll. Namun jika kamu menanyakan cita-cita ke anak SD, maka jangan heran jika kamu akan menjumpai anak yang dengan mantap menjawab ingin menjadi pemain sepak bola.

Menjadi guru SD benar-benar memutar kembali rekaman memory masa kecil saya. Hanif kecil adalah seorang anak yang sangat senang sekali bermain bola. Hampir setiap hari sepulang sekolah saya selalu bermain bola. Mengutip kata-kata Kapten Tsubasa, “Bola adalah teman”, maka tidak afdol jika sepulang sekolah saya belum memainkan bola. Kebetulan saat itu di belakang rumah ada halaman kosong seukuran lapangan futsal jaman sekarang yang bisa saya gunakan untuk bermain bola. Film kartun pada masa itu juga menambah motivasi saya untuk menjadi pemain sepak bola, sebut saja film-film macam Kapten Tsubasa, Shoot, Whistle, dan Offside yang menyajikan cerita bola heroik. Dan jika ada orang bertanya ke saya besok kalau sudah besar mau jadi apa, saya akan dengan mantap menjawab “mau jadi pemain sepak bola”.

Cita-cita saya itu menemui jalannya saat bapak mengikutkan saya di Sekolah Sepak Bola (SSB). Setiap hari Selasa, Jumat, Minggu saya harus mengayuh sepeda sejauh 5 km untuk datang ke tempat latihan. Perlahan kesenangan bermain sepak bola itu mulai luntur, ada sedikit ketakutan terhadap bentakan pelatih. Saya mulai ikut serta di kompetisi dan merasakan sedihnya menjadi pemain cadangan yang tidak dimainkan. Namun dibalik semua itu, ada semangat dan gairah untuk terus berlatih menjadi lebih baik.

Saya masih ingat baju bola pertama yang saya miliki adalah jersey milik Parma. Sayang klub itu sekarang sudah bangkrut. Saat itu saya sebenarnya mencari jersey milik Sony (saya kira Sony itu nama klub, padahal itu adalah sponsor di kaos),yang tidak lain sebenarnya adalah Jersey Juventus. Namun karena sudah seharian keliling pasar dan tidak menjumpainya akhirnya saya terima saja dengan jersey parma ini, yang penting kaos bola. Dan ketika saya melihat di TV bahwa Juventus baru saja menjuarai Liga Italia, saat itu juga saya meminta dibelikan Jersey Juventus lagi dan resmi menjadi Juventini. Namun, cita-cita hanyalah menjadi cita-cita. Sejak masuk SMP, saya berhenti berlatih di SSB. Dan sejak saat itu, sepak bola resmi saya ubah statusnya dari cita-cita menjadi hobi untuk kesenangan semata ketika ada kelas kosong atau waktu luang.

Dan sekarang disinilah saya, di tengah kerumunan anak-anak yang benar-benar menjadi anak-anak saat memainkan bola. Sekarang Kapten Tsubasa, Misaki, Kazamatsuri Sho, dan Toshi Tanaka sudah tidak ada. Mungkin mereka juga sudah tumbuh dewasa sama seperti saya dan sedang berusaha mewujudkan mimpinya. Tapi masih ada Madun yang siap membakar semangat anak-anak itu untuk menjadi pemain bola. Kalau mau dimaknai secara serius, dari sepak bola kita belajar disiplin, kerja sama, kerja keras, sopan santun, rela berkorban, dan sportif. Tapi secara sederhana dari sepakbola kita belajar untuk bergembira. Dan sekarang saya akan menikmati kegembiraan bermain sepak bola itu bersama anak-anakku disini sambil melihat mereka tumbuh. 

Bagi saya sekarang menjadi pemain bola sudah pasti mustahil, mengingat umur, fisik, dan kondisi persepakbolaan tanah air sekarang. Tapi sepak bola adalah bagian dari hidup saya, yang menemani saya tumbuh dari kecil sampai dewasa. Mungkin bagi orang dewasa, cita-cita menjadi pemain bola adalah cita-cita yang konyol, tapi bagi anak-anak itu sangat menyenangkan. Jadi jangan rusak kesenangan mereka.


Mahasiswa PhD di ELTE, Hungaria. Dosen Psikologi di UMM, Indonesia.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »
Comments


EmoticonEmoticon